Budaya Daerah

Budaya Daerahku

Trenggalek merupakan salah satu kota kecil yang ada di Provinsi Jawa Timur. Trenggalek merupakan salah satu kota Adipura, walaupun kota Trenggalek sangatlah kecil, namun kota Trenggalek memiliki potensi yang amat cukup banyak yang diantaranya adalah perkebunan, industri kerajinan, industri makanan dan juga industri perikanan.

Dari potensi di atas akan saja perjelas satu persatu mengenai yang pertama perkebunan, Trenggalek merupakan daerah yang dikelilingi gunung oleh karena itu banyak perkebunan, dan perkebunan di Trenggalek menghasilkan cengkeh, kopi, coklat, durian, dan masih banyak hutan yang ada di Trenggalek yang ditumbuhi dengan kayu jati sengon dll.

Yang kedua yaitu industri kerajinan, di Trenggalek sangat terkenal dengan yang namanya indutri kerajinan bambu. Karena di desa Gandusari tepatnya, banyak pengrajin bambu yang indah. Pengrajin tersebut terkenal sampai luar daerah karena keindahannya membuat kreatif  bambu untuk kipas, maskot, kursi dll.

Yang ketiga yaitu industri makanan. Di Trenggalek sangat banyak makanan khas yang diantaranya ada alen-alen, tempe kripik, manco, sale, dll. Tak lupa juga jika berkunjung ke Trenggalek jangan lupa untuk mampir ke desa Bendungan tepatnya, disana ada makanan khas Trenggalek juga yaitu “Sego Gegog”. “Sego Gegog” ini adalah nasi yang berisikan teri dan tuna yang dibungkus dengan daun pisan dan di open.

Dan yang terakhir ada industri perikanan, Trenggalek merupakan daerah pesisir oleh karena itu banyak pantai yang ada di Trenggalek yang meliputi pantai Prigi yang ada di Watulimo, pantai Pelang yang ada di Panggul, pantai Blado yang ada di Munjungan dan masih ada pantai lainnya. Karena Trenggalek mempunyai banyak pantai, maka Trenggalek juga memiliki potensi alam laut yang juga melimpah, seperti ikan, rumput laut, udang dll. Oleh karena itu Trenggalek mampu mendirikan industri perikanan. Di Trenggalek tak hanya kaya akan potensi alamnya, tapi juga banyak akan budayanya. Diantaranya adalah Jaranan Turonggo Yakso, Upacara Larung Sembonyo, Ritual Tiban, dan Nyadran Dam Bagong.

Pemprov Jatim Dorong Pengakuan Turonggo Yakso
Tari Turonggo Yakso merupakan kesenian asli kabupaten Trenggalek. Awalnya kesenian ini berasal dari “baritan” yaitu sebuah ritual yang dilakukan oleh masyarakat kecamatan Dongko sejak lama. Berkat jasa Bapak Puguh yang juga merupakan warga Dongko, dengan memperkenalkan kesenian Turonggo Yakso akhirnya kesenian ini mulai dikenal sebagai kesenian asli Trenggalek yaitu pada tahun 80-an.Tari Jaranan Turonggo Yakso ini menceritakan tentang kemenangan warga desa dalam mengusir marabahaya atau keangkaramurkaan yang menyerang desanya.
Saat ini tari Turonggo Yakso banyak diminati oleh para pelajar diwilayah Trenggalek, mulai dari anak SD sampai pada ibu-ibu dan orang tua. Bahkan setiap perayaan 17 Agustus hampir taka da sekolah yang tidak menampilkan Kesenian Tradisional tersebut. Mungkin bagi mereka ini semua adalah ungkapan rasa hormat yang dituangkan dalam sebuah gerakan yang tak lain adalah menari.
Tari Turonggo Yakso ini berbeda dengan Kesenian Jaranan yang ada di Trenggalek. Perbedaan itu terletak pada kuda-kudaan yang ditungganginya. Jika pada Kesenian jaranan, kuda tersebut menggambarkan kuda yang benar-benar berbentu kuda. Sedangkan pada Tari Turonggo Yakso, kuda yang dipakai untuk tampil adalah kuda yang berbentuk Buto. Namun dalam gerakannya hampir sama, hanya saja pada Tari Turonggo Yakso masih belum terbebaskan dari gerakan-gerakan yang menjadi tumpuan utama pada awal Tari Turonggo Yakso terlahir.

Sumber : http://kec-trenggalek.trenggalekkab.go.id/index.php/beranda/1-diskripsi-tarian-turonggo-yakso-trenggalek

maxresdefault
Sembonyo sebenarnya nama mempelai tiruan berupa boneka kecil dari tepung beras ketan, dibentuk seperti layaknya sepasang mempelai yang sedang bersanding. Duduk diatas perahu lengkap dengan peralatan satang, yaitu alat unutuk menhjalankan dan mengemudikan perahu. Penggambaran mempelai tiruan yang bersanding diatas perahu ini dilengkapi pula dengan sepasang mempelai tiruan terbuat dari ares atau galih batang pisang, diberi hiasan bunga kenangadan melati, lecari. Karena sembonyo mengambarkan mempelai, maka perlengkapan upacara adat sembonyo juga dilengkapi dengan asahan atau sesaji serta perlengkapan lain seperti halnya upacara perkimpoian tradisional jawa.
Tiruan mempelai yang disebut Sembonyo itu berkaitan dengan mitos setempat mengenai terjadinya tradisi larung sembonyo. Tradisi ini bermula dari suatu peristiwa yang dianggap pernah terjadi , yaitu perkimpoian antar Raden Nganten Gambar Inten, dengan Raden Tumenggung Kadipaten Andong Biru. Raden Nganten Gambar Inten juga terkenal dengan nama raden Nganten Tengahan.
Larung Sembonyo ini mendapat inspirasi dari legenda rakyat pantai Prigi tentang Tumenggung Yudhonegoro. Masyarakat Prigi meyakini, dia memiliki nama asli Raden Kromodipo, seorang kepala prajurit dari Kerajaan Mataram.
Alkisah, kata legenda itu, Yudhonegoro mendapat perintah dari Adipati Andong Biru. Andong Biru adalah ningrat Kerajaan Mataram yang mendapat mandat raja sebagai penguasa wilayah hutan di pesisir Jawa, mulai dari Pacitan hingga Banyuwangi.
Mataram yang saat itu berambisi memperluas wilayah, gencar membuka kawasan-kawasan baru. Lalu Andong Biru memerintah Yudhonegoro agar membuka kawasan Prigi yang kala itu masih berupa hutan belantara, menjadi daerah berpenduduk.
Andong Biru mengiming-imingi Yudhonegoro, kelak jika berhasil membuka kawasan Prigi, dia berhak mempersunting putri kesayangannya, Gambar Inten.
Yudhonegoro tak mengecewakan. Prigi disulapnya menjadi kawasan berpenghuni. Kekuasaan Mataram melebar. Andong Biru pun memenuhi kaulnya terhadap Yudhonegoro.
Sebagai ungkapan kegembiraan, Andong Biru menggelar pesta besar-besaran pernikahan Yudhonegoro-Gambar Inten. Pesta berlangsung Senin Kliwon, bulan Selo pada penanggalan Jawa. Di tengah kebahagiaannya memperistri putri cantik Gambar Inten, Yudhonegoro tak lupa diri.
Ia bersyukur. Berkat sokongan sang penguasa laut, Prigi bukan lagi hutan belantara, Gambar Inten juga jadi miliknya. Karena itulah, Yudhonegoro melakukan sedekah laut dengan cara melarung sembonyo ke laut pantai Prigi.
Tradisi inilah yang dipertahankan secara turun oleh masyarakat Prigi. Hanya, dalam perkembangannya, Larung Sembonyo tidak lagi jatuh pada Senin Kliwon, tetapi Ahad (Minggu) Kliwon.
Masyarakat Prigi mempertahankan Kliwon (hari pasaran sesuai dengan penanggalan Jawa). Sebuah alasan praktis karena Minggu hari libur sehingga pelancong memiliki waktu luang untuk mengikuti Larung Sembonyo.

 

sumber : http://forum.detik.com/info-tradisi-larung-sembonyo-t8223.html

Tari Tiban Trenggalek
Tari Tiban atau lebih tepatnya ritual Tiban merupakan tari atau ritual rakyat yang turun temurun menjadi bagian kebudayaan masyarakat Trenggalek. Tari Tiban selalu dipertujukkan saat musim kemarau yang berkepanjangan dengan tujuan sebagai permohonan diturunkannya hujan.
Tari Tiban terbagi menjadi 2 kelompok, masing-masing dipimpin 1 orang wasit atau biasa disebut Landang atau Plandang. Dalam ritual ini selalu diiringi dengan alunan musik layaknya gamelan lengkap yang terdiri dari kendang, kentongan, dan gambang laras.
Ritual ini cenderung ritual layaknya ajang mengadu ilmu ketrampilan atau kesaktian sambil menari-nari dan saling mencambuk dengan hitungan yang ditentukan oleh Landang. Cambuk yang digunakan dalam tari ini terbuat dari lidi pohon aren yang biasa di sebut ujung.
Permainan ini akan berlanjut sampai sore hari, dan bagi yang mereka yang merasa tidak sanggup melanjutkan akan digantikan oleh anggota kelompok berikutnya.
Tarian tiban adalah sebuah permintaan permohonan kepada yang maha kuasa berharap untuk diturunkanya hujan.Ada makna dalam dibalik ritual tarian tiban yaitu sebuah harapan sebuah pesan yang luhur demi lestarinya alam. Bukanlah kekerasan yang ditonjolkan melainkan nilai-nilai luhur atau sebuah pesan untuk menjaga keseimbangan alam.

sumber : http://www.eastjava.com/tourism/trenggalek/ina/tiban.html

6429_5039_30-08-RATU-Dam-Bagong-(7)
Salah satu budaya yang terus dilestarikan oleh warga Trenggalek adalah Upacara Adat bersih Dam Bagong atau lebih dikenal dengan sebutan Tradisi Nyadran di Dam Bagong. Upacara adat merupakan salah satu bagian dari adat kebiasaan yang ada di masyarakat, yaitu bentuk pelaksanaan upacara adat yang di dalamnya terdapat nilai budaya yang tinggi dan banyak memberikan inspirasi bagi kekayaan budaya daerah yang dapat menambah keanekaragaman kebudayaan nasional. Upacara tersebut mengajarkan kepada manusia sebagai manusia berbudaya untuk ikut bertanggung jawab menjaga kelestarian alam seisinya, ikut meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Nyadran merupakan tradisi dari daerah Trenggalek yang biasanya diperingati pada Jum’at Kliwon bulan Selo atau bulan jawa. Nyadran biasanya dilakukan di daerah Bagong yaitu tepatnya Dam Bagong dan dihadiri ribuan orang dari Trenggalek sendiri maupun dari luar Trenggalek. Dam Bagong adalah dam pembagi aliran sungai Bagong yang biasa digunakan untuk mengairi persawahan di Kota Trenggalek. Pertama kali Dam Bagong dibangun oleh Adipati Menak Sopal yang juga merupakan pendiri cikal bakal kota Trenggalek.Ritual upacara Nyadran diawali dengan tahlilan di samping makam Adipati Menak Sopal, dilanjutkan dengan ziarah makam yang diikuti oleh para pejabat daerah dan warga masyarakat. Sementara itu, di halaman sekitar komplek pemakaman disajikan hiburan tarian jaranan. Tarian kepahlawanan khas Trenggalek ini disajikan dengan penuh semangat, diiringi gamelan yang dinamis dan menghentak serta nyanyian dari pesinden yang jelita. Tarian ini sangat digemari karena identik dengan tarian magis yang bernuansa mistis. Tak jarang, para penari jaranan kesurupan saat menyajikan tarian ini.
Acara puncak yang paling ditunggu dalam ritual nyadran adalah pelemparan tumbal kepala kerbau atau larung. Dalam upacara Nyadran Dam Bagong ini dikorbankan seekor kerbau yang kemudian disembelih dan kepala, kulit beserta tulang-tulangnya dilempar ke sungai lalu diperebutkan oleh warga masyarakat sekitar. Tujuan ritual nyadran ini sebagai tolak balak, tidak hanya sebagai tolak balak upacara ini juga sebagai simbol agar kehidupan warga Trenggalek gemah ripah loh jinawi. Biasanya beberapa pemuda telah bersiap-siap di dalam sungai dengan bertelanjang dada untuk memperebutkan kepala kerbau yang dilarung. Sorak sorai kegirangan dan rona kegembiraan terpampang di wajah mereka dan wajah para penonton, kala kepala kerbau dan tulang-belulangnya berhasil diketemukan. Ada anggapan bahwa dengan mendapatkan kepala kerbau, mereka akan memperoleh berkah dalam hidupnya. Rangkaian upacara nyadran ditutup dengan pagelaran wayang kulit.

sumber : https://jawatimuran.net/2016/11/15/tradisi-nyadran-di-dam-bagong-kelurahan-ngantru-kabupaten-trenggalek/

 

Tinggalkan komentar